HUKUM LAUT



Pengertian Hukum laut Nasional ,Internasional dan Sejarah Perkembangannya
A. pengertian hokum laut
• hokum laut menurut dr. wirjono prodjodikoro SH aialah meliputi segala peraturan hokum yang ada hubungan dengan laut.
• Hokum laut menurut Mr. w. L. P. A molengraaff, Mr. H. F. A vollmar dan Mr. F.G scheltema adalah peraturan-peraturan hokum yang ada hubungannya dengan pelayaran kapal di laut dan keistimewa mengenai pengangkutan orang atau barang dengan kapal laut.
B. Sejarah hokum laut secara nasional
         Negara Indonesia merupakan salah satu anggota pada konferensi kodifikasi yang diselenggarakan oleh volkenbond dalam tahun 1930 di den Haag ternyata bahwa dari 37 negara peserta hanya terdapat 9 negara yang mempertahankan 3 mil limit sedangkan sebagian besar Negara peserta menggangap 3 mil itu tidak cukup lebar kegagalan untuk mencapai kata sepakat tentang lebar laut teritorial yang unform inilah yang menyebabkan kandasnya usaha liga bangsa-bangsa untuk mengadakan kodifikasi hokum laut mengenai penguasaan laut.
         Suatu keberatan besar bagi bangsa Indonesia karna cara tersebut kurang atau sama sekali tidak memperhatikan sifat khusus dari pada inndonesia sebagai suatu Negara kepulauan (archipelago). Menurut cara pengukuran laut territorial yang klassik yaitu dihitung dari base-line yang berupa garis air rendah secara teoritis setiap dari tiga ribu (3000) pulau di Indonesia itu mempunyai laut teritorialnya sendiri, dapatlah dibayangkan bahwa keadaan demikian sangat menyukarkan pelaksanaan tugas pengawasan laut dengan sempurna karena susunan daerah yang harus diawasi. Demikian ruwet kantong-kntong berupa laut bebas di tengah-tengah dan diantara bagian darat (pulau) dari wilayah Negara Indonesia ini menempatkan petugas dalam keadaan yang sulit karena mereka harus memperhatikan setiap waktu
          Berdasarkan pertimbangan –pertimbangan diatas perlu dicari pemecahan persoalan yang berpokok pada pendirian, bahwa kepulauan Indonesia itu merupakan satu kesatuan (unit) dan bahwa lautan diantara pulau-pulau kita itu merupakan satu bagian yang tidak dapat dilepaskan dari bagian darat (pulau-pulau) Negara kita. Perkataan “tanah air” dalam bahasa Indonesia cukup menjadi bukti bahwa pendirian itu secara atau tidak sudah meresap pada pikiran rakyat itu. Berdasarkan pendirian ini maka lautan territorial harus terletak sepanjang garis yang menghubungkan titik ujung terluar dari pada kepulauan Indonesia.
Keputusan mahkamah internasioanal tahun 1951
         Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia menurut cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai suatu garis dasar (base line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik yang terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight base line from point to point” ini mendapat pengakuan dalam hokum internasional dengan keputusan mahkamah dalam anglo Norwegia Fisheries case pada tanggal 18 desember 1951.
         cara penenetuan base-line yang di tetap kan dalam royalnorwegia degree dari tanggal 12 juli ini di benarkan oleh mahkamah yang menyatakan “that the base- lines fixed by the said degree were not contary to international law .
         Sangat menarik adalah sebab yang mendorong mahkamah internasional untuk mengambil keputusan itu katanya disebabkan oleh “ geographical realities “ dan juga di pengaruhi oleh economic interes ”.walaupun keadaan gegrafis Indonesia berlainan yakni garis-garis yang menghubungkan titik ujung akan jauh lebih panjang dari pada garis terpanjang yang diketengahkan dalam pertikaian antara inggris dan norwegia itu (44 mil). Namun kadaan Indonesia sebagai suatu pulau cukup unik untuk dapat membenarkan cara penentuan garis pangkal ( base line) yang serupa. Yang penting dalam Anglo Norwegia Fisheries case ini adalah bahwa suatu cara penarikan garis pangkal yang lain dari pada cara yang klasik (yaitu menurut garis air rendah) telah mendapat pengakuan dari Mahkamah ineternasional. Jadi, yang kita lakukan adalah peninjauan kembali dari pada base line (garis pangkal) yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia sebagai suatu kepulauan.
          Selanjutnya pendirian delagasi ditentukan pula oleh deklarasi pemerintah pada tanggal 13 desember 1957 mengenai wilayah perairan Indonesia harus diusahakan dan diperjuangkan oleh delegasi supaya konferensi di jenewa menerima tambahan satu artikel yang mengatur soal laut teritorial di sekitar kepulauan sebagai suatu kesatuan (unit). Sebagi konsekuensi dari pada deklarasi pemerintah Ri tanggal 13 desember 1957 harus pula diperjuangkan agar konperensi jangan sampai menentukan suatu limit maximum bagi panjangnya “straight base-line from point to point”. Demikian pila sesuai dengan deklarasi pemerintah tanggal 13 desember 1957 harus diperjuangkan agar laut territorial dapat ditentukan menjadi 12 mil.
C. Sejarah perkembangna hokum laut internasional
          Semenjak berakhirnya perang dunia ke II, hokum laut merupakan cabang hokum internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam dan bahkan dapat dikatakan telah mengalami revolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Bila dulu hukum laut pada pokoknya hanya mengurus kegiatan-kegiatan diatas permukaan laut. Tetapi dewasa ini perhatian juga telah diarahkan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung didalamnya. Hokum laut yang dulunya bersifat un dimensional sekarang telah berubah menjadi plu dimensional yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hokum laut dimasa lalu.
          Memang konferensi PBB 1 tentang hokum laut tahun 1958 di jenewa, UNITED NATIONS CONFERENCE ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) berhasil mengeluarkan konvensi, namun masih banyak lagi masalah hokum yang belum diselesaikan sedangkan ilmu pengetahuaan dan teknologi berkembang dengan pesat. Konvensi-konvensi pada tahun 1958 bukan saja belum mengatur semua persoalan tetapi ketentuan –ketentuan yang adapun dalam waktu yang pendek tidak lagi memadai dan telah ditinggalkan perkembangan teknologi. Disamping itu Negara-negara yang lahir susudah tahun 1958 yang jumlahnya sedikit dan yang tidak ikut merumuskan konvensi-konvensi tersebut menuntut agar dibuatnya ketentuan-ketentuan baru dan merubah ketentuan yang tidak sesuai.
          Demikian untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang ada dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dan menampung masalah-masalah yang dating kemudian. Majelis umum PBB tahun 1976 membentuk suatu badan yang bernama UNETED NATIONS seabed committee, siding-sidang komite ini kemudian dilanjutkan dengan konferennsi hokum laut III (UNCLOS) yang siding pertamanya diadakan di new York bulan September tahun 1973 dan yang 9 tahun kemudian berakhir dengan penandatanganan konvensi PBB tentang hokum laut pada tanggal 10 desember 1982 di montage bay , jamaica

          Pada masa kuno, kebutuhan pengaturan di bidang hukum laut “internasional” mulai muncul ketika bangsa-bangsa mulai memanfaatkan laut sebagai sarana transportasi.
           Perkembangan Hukum Laut Internasional pada masa modern dianggap dimulai pada abad XVII melalui karya Hugo Grotius yang berjudul “Mare Liberum.”
           “Mare Liberum” merupakan tulisan yang dibuat oleh Grotius untuk mendukung klaim VOC terhadap perairan Hindia Belanda yang sebelumnya diklaim oleh Portugis dengan konsep “Mare Clausum.”
           Namun sebagian pemegang saham kurang setuju dengan penggunaan kekerasan tanpa kewenangan yang menyertai perampasan “Santa Catarina”.
           Setelah muncul kontroversi, VOC meminta Hugo Grotius untuk menyusun argumentasi mendukung perampasan Santa Catarina. Grotius membenarkan perampasan terhadap kapal Portugis berdasarkan konsep “Mare Liberum” : Laut adalah wilayah yang bebas dipergunakan oleh bangsa manapun, tidak bisa dimonopoli oleh suatu negara.
          Monopoli Portugis di lautan Hindia bertentangan dengan “prinsip keadilan alamiah.”
           Konsep “Mare Liberum” kemudian ditentang oleh Inggris yang saat itu sedang bersaing dengan Belanda untuk menguasai lautan. Inggris kembali menegaskan konsep “Mare Clausum.”
           Menurut konsep “Mare Clausum”, laut adalah wilayah yang dapat dimiliki sebagaimana wilayah darat.
            Dalam praktik, negara-negara mengambil jalan tengah: ada bagian laut yang bisa dimiliki dan ada bagian laut lepas.
           Salah satu gagasan tentang kepemilikan laut didasarkan pada kemampuan penguasaan efektif oleh negara pantai berdasarkan jangkauan tembakan meriam (ketika itu) dari darat, yakni selebar 3 mil.
          Sejak saat itu, negara-negara mulai mengembangkan Hukum Internasional Kebiasaan di dalam pemanfaatan laut.
          Upaya kodifikasi:
International Law Association (1873)
Institute of International Law (1873)
Harvard Law School
Liga Bangsa-bangsa / LBB (1930)
PBB à International Law Commission : UNCLOS 1958, UNCLOS 1960, UNCLOS 1982.
Perkembangan norma Hukum Laut Internasional:
 Zonal development: menentukan wilayah-wilayah laut dan mengatur hak dan kewajiban negara di dalamnya.
 Functional development: mengatur hak dan kewajiban negara dalam memanfaatkan laut.
• Functional development muncul sebagai “perluasan” dari fungsi dasar laut, yaitu pelayaran (navigation) dan penangkapan ikan (fisheries).
         PELAYARAN
         Kasus Torrey Canyon:
• Sebagai akibat konflik Timur Tengah yang mengganggu lalu-lintas laut di Terusan Suez, Inggris mengoperasikan tanker ukuran super besar (supertanker) untuk mengangkut minyak dalam jumlah banyak dari Timur Tengah ke Eropa.
• Pada tahun 1967 sebuah supertanker yang bernama Torrey Canyon 120.000 ton minyak mentah kandas di lepas pantai Inggris dan menimbulkan polusi berat: 270 km2 wilayah laut tercemar minyak, 15.000 burung laut mati, ikan pada radius 75 mil mati.
                • Peristiwa Torrey Canyon memunculkan kebutuhan pengaturan:
 Pemanfaatan pelabuhan laut dalam sebagai tempat labuh supertanker;
 Penanganan dan pertanggungjawaban polusi laut.

0 komentar:

Posting Komentar